About

About

Blogger templates

Blogger news

Blogger templates

Fb subscribe

random ayat

Pages

Meteora Site meter

Jadwal Adzan Temanggung

Blog Archive

Followers

Blog Archive

Monday 21 November 2011

Mengapa Polisi Tak Berdaya Hadapi Terorisme & Radikalisme Salibis Ambon‏?

Berbagai insiden kekerasan terus-menerus menimpa kaum muslimin Ambon oleh kaum salibis seakan tidak pernah berakhir namun juga tidak pernah diungkap secara tuntas oleh aparat kepolisian.
Selain melukai rasa keadilan, hal ini juga menghilangkan kepercayaan kaum muslimin terhadap aparat kepolisian. Bahkan lebih jauh lagi menimbulkan kecurigaan dari kaum muslimin bahwa ada keberpihakan institusi Polri kepada kelompok Kristen di Maluku. Karena beberapa fakta memperlihatkan seolah-olah kepolisian Polda Maluku menjadi tak berdaya apa-apa apabila menyelesaikan kasus-kasus kekerasan atas kaum muslimin yang melibatkan kaum Salibis sebagai pelakunya.
Empat kasus yang belum terungkap berikut adalah fakta terbaru bahwa Polda Maluku menjadi tidak berdaya ketika harus menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang menimpa kaum Muslimin dengan pelaku dari pihak Nasrani:

1. Pembunuhan Darfin Saiman secara tragis di kampung Kristen.
Belum hilang dari ingatan kita, kasus pembunuhan tukang ojek Muslim bernama Darfin Saiman di kampung Kristen desa Gunung Nona. Jenazah Darfin ditemukan tewas mengenaskan di tempat sampah, dengan lubak tusukan benda tajam di punggung, kaki dan pelipis, serta luka lebam di sekujur tubuhnya. Anehnya, polisi merekayasa kematian Darfin sebagai kecelakaan lalulintas biasa.
Umat Islam menilai bahwa polisi telah merekayasa kasus pembunuhan tersebut dalam rangka melindungi pelaku pembunuhan dari pihak Salibis. Karena logika awam sekalipun, ketika melihat jenazah Darfin Saiman pasti akan menyimpulkan bahwa dia meninggal karena dibunuh dan dianiaya, bukan karena kecelakaan lalulintas. Sampai sekarang, kasus pembunuhan tersebut belum bisa diungkap oleh polisi. Tak ada penyelidikan, penyidikan, maupunpenangkapan tersangka pembunuhan, karena polisi sudah prematur sejak awal menyimpulkan Darfin tewas kecelakaan.

2. Insiden pembakaran masjid dan ratusan rumah Muslim di Kampung Waringin
Peristiwa selanjutnya yang tidak kalah memilukan bagi kaum muslimin adalah tragedi berdarah penyerangan kampung Muslim waringin pada tanggal 11 September 2011 oleh kaum salibis. Peristiwa tersebut menyebabkan 8 orang muslim tewas, seratus orang lebih luka-luka, masjid dan ratusan rumah milik kaum Muslimin habis dibakar salibis.
Akibatnya Ratusan Kepala Keluarga warga Muslim kini hidup di pengungsian. Sampai sekarang, ratusan rumah milik warga Muslim yang habis dibakar belum dibangun kembali seperti janji Pemkot Ambon. Sudah dua bulan lebih peristiwa ini berlalu tapi sampai sekarang belum ada satupun orang yang ditangkap oleh polisi dan ditetapkan sebagai tersangka pelaku penyerangan. Tak ada pengejaran maupun tudingan teroris maupun radikalis terhadap Salibis Ambon, meski mereka juga memakai bom dan senjata api.
Logikanya, jika penyerangan tersebut melibatkan ratusan orang, tentunya ada pihak yang mengorganisir dan provokator yang menggerakkannya. Dan dalam peristiwa tersebut ada jiwa yang melayang dalam jumlah yang cukup banyak.
Bandingkan dengan peristiwa penyerangan Karaoke Villa milik Kristen yang pelakunya adalah beberapa pemuda Muslim pada bulan April 2005. Hanya dalam hitungan pekan, Polda Maluku yang didukung oleh Densus 88 berhasil menangkap 20 orang lebih yang dianggap bertanggungjawab terhadap penyerangan yang hanya menewaskan seorang wanita tuna susila. Para pelaku disiksa dengan sangat keji oleh polisi selama interogasi dan penyidikan. Lebih tragis lag, mereka dijerat dengan Undang-Undang No 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.
Kezaliman yang menimpa mereka yang diduga sebagai pelaku semakin memilukan ketika pengadilan yang digelar penuh dengan rekayasa dan beraroma dendam dari pihak salibis yang diwakili oleh para jaksa dan hakim. Maka tuntutan dan vonis terhadap para terduga pelaku penyerangan yang hanya menewaskan seorang wanita tuna susila tersebut sangat jauh dari rasa keadilan. Mereka yang diduga bertanggung jawab terhadap penyerangan tersebut 3 orang di antaranya divonis hukuman seumur hidup, dan yang lainnya ada yang divonis 18 tahun,15 tahun,12 tahun dan 7 tahun bagi orang yang diduga menyembunyikan informasi tentang kejadian tersebut. Sebagian besar dari mereka sampai sekarang masih berada di penjara.

3. Insiden penyerangan pemukiman Muslim di jalan Baru Ambon
Peristiwa terbaru yang sampai sekarang juga belum mampu diungkap oleh Polda Maluku adalah insiden penyerangan pemukiman Muslim di Jalan Baru Ambon pada tanggal 20 oktober 2011 lalu.
Peristiwa tersebut menyebabkan 3 bangunan milik warga muslim hangus terbakar dan 3 warga Jalan Baru terluka parah. Penyerangan yang melibatkan tiga ratusan massa Kristen tersebut terjadi pukul 04.00 WIT dinihari.
Sampai sekarang kasus tersebut tidak diketahui kelanjutan penyidikannya. Padahal dengan intelijen dan perangkat yang dimilikinya, mustahil jika polisi tidak mengetahui aktor intelektual dan pelakunya.
Bandingkan dengan peristiwa Bom Mardika pada bulan Agustus 2005 yang tidak menewaskan seorang pun. Hanya dalam hitungan jam Polisi telah menangkap empat pemuda Muslim yang dua di antaranya masih remaja berusia 16 tahun dan 17 tahun, yang semuanya dituduh sebagai pelaku. Dua di antaranya ditembak kakinya, yaitu Kasim Waly (16 tahun) dan Aden alias Alulu (28 tahun). Bahkan Aden alias Alulu akhirnya meninggal dunia di rumah sakit setelah ditembak kedua kaki dan lambungnya yang dilanjutkan dengan penyiksaan oleh Polisi. Dan tragisnya, 2 orang remaja yang dituduh terlibat dalam peristiwa tersebut dijerat dengan Undang-Undang No 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana Terorisme. Keduanya divonis dengan hukuman 8 tahun penjara untuk Kasim Waly dan 4 tahun penjara untuk Maga.

4. Pembacokan siswa SMP Muhammadiyah oleh warga Kristen
Peristiwa terbaru yang juga masih mengendap di meja Polisi adalah pembacokan sadis terhadap Gani Pantororeng, siswa SMP Muhammadiyah Wailikut kecamatan Waisama kabupaten Buru Selatan. Pembacokan yang dilakukan oleh warga Kristen itu mengakibatkan Gani Pantororeng terluka parah dengan 30 jahitan di dagunya.
Ini hanya secuil bukti bahwa aparat kepolisian tak berdaya ketika menghadapi kasus kekerasan, radikalisme dan terorisme yang pelakunya adalah salibis radikal dan korbannya adalah kaum Muslimin.

Kupang, Tempat Pembuangan Mujahidin Penentang Kolonial Belanda

Pada masa kolonial, mereka yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda, akan menghadapi hukuman berat, yakni pengasingan ke suatu tempat yang jauh dan terpencil. Ternyata, tak sedikit para ulama dan pejuang Indonesia yang dibuang ke Kupang hingga ajal menjemputnya. Selama di pengasingan, para mujahidin tersebut mengembangkan agama Islam di Kota Kupang dan sekitarnya.
Sejarah mencatat, setelah terjadi peletakan dasar pertama masyarakat Islam di Airmata, Kupang, lalu menyusul masuknya beberapa tokoh Islam yang ikut berperanan dalam usaha mengembangkan ajaran Islam di Airmata dan Kota Kupang pada umumnya. Ingin tahu, siapa saja yang dibuang pemerintah Belanda dan berjasa mengembangka ajaran Islam di Kota Kupang? Mereka adalah:
  • Pangeran Surya Mataram
Ia berasal dari Jawa Tengah. Ada pula yang menyebut, Surya Mataram berasal dari Mataram. Karena menentang melawan Belanda, ia diasingkan ke Kupang, karena terlibat dalam Perang Diponogoro tahun 1825-1830. Ia adalah saudara dari Pangeran Mangkudiningrat.
Menurut cerita Imam Birando bin Tahir, Pangeran Surya Mataram adalah anak buah Pangeran Diponogoro. Ketika berada di Kupang, ia berdiam di Kampung Airmata Kupang (di rumah Imam Birando bin Tahir).
 Ia menyiarkan ajaran Islam di Airmata Kupang melalui pengajian-pengajian yang dipimpinnya. Peninggalan yang ditinggalkan di Kupang adalah sehelai kain wasiat dan sebilas keris. Kedua peninggalan ini, kabarnya masih tersimpan dengan baik di desa Airmata Kupang.
  • Syech Syarif Abubakar bin Abdurrahman Al-Gadri
Ia adalah seorang keturunan Arabdari Hadramaut. Seperti dijelaskan oleh Haji Abubakar Atjeh dalam Risalah Seminar Sedjarah Masuknya islam ke Indonesia:  Ketika itu ada empat Penyiar Islam, mereka adalah Sayyid Abdullah Al Kudsi, Sayyid Usman bin Shahab, Sayyid Muhammad bin Ahmad Alaydrus dan Sayyid Husin Al Gadri. Salah seorang dari keempat orang penyiar Islam inilah yang menurunkan raja-raja Siak. Al Gadri lah yang menurunkan raja Pontianak.
Maka, salah seorang dari keluarga raja Pontianak adalah Abdurrahman Al Gadri. Ketika itu ia melakukan perdagangan budak. Akibatnya pada tahun 1836, ia diasingkan pemerintah Belanda dari Pontianak ke Sumba. Ketika berada di Sumba, lagi-lagi Syarif Abubakar bin Abdurrahman Al Gadri mengadakan perdagangan budak ke Kupang. Setelah pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan tentang larangan perdagangan budak tahun 1838, lalu Abdurrahman menghentikan kegiatannya dan menetap di Airmata Kupang tahun 1860.
Selama berada di Kupang, ia aktif menerapkan ajaran islam bersama pemimpin-pemimpin agama Islam lainnya. Ia meninggal tahun 1899 dan dimakamkan di Perkuburan Umum Islam Batukadera, Kupang. Peninggalan beliau yang kabarnya masih tersimpan di Airmata Kupang adalah sehelai kain plekat dan sehelai sorban.
Syekh Syarif Abubakar bin Abdurrahman Al Gadri merupakan pembuka jalan bagi orang-orang turunan Arab yang datang ke Kupang. Setelah masuknya orang-orang Islam keturunan Arab ke Kupang, perkembangan Islam di Kupang mengalami kemajuan. Hal ini disebabkan, banyak diantara orang-orang Islam keturunan Arab yang menjadi guru ngaji. Tokoh-tokoh Islam keturunan Arab itu antara lain: Ahmad Wakid, Abdullah Machros, Umar Djawas, Ahmad Badzher dan Muhammad Ghafar Badzher. Mereka pernah menjadi guru ngaji dan madrasah di Airmata Kupang sekitar tahun 1932.




  • Pangeran Ali Basyah Machmud Gandakusumo (Pangeran Achmadin Danukusumo) dan Raden Sutomo
Mereka berasal dari Jawa Tengah. Keduanya diasingkan pemerintah Belanda ke Kupang, juga karena terlibat dalam Perang Diponogoro (1825-1830). Selama berada di Airmata Kupang, mereka turut mengajarkan ajaran Islam di kalangan masyarakat muslim di sini.
  • Dipati Amir bin Bahren dan Panglima Hamzah (Cing) bin Bahren
Mereka berasal dari Pulau Bangka. Keduanya diasingkan pemerintah Belanda ke Kupang tahun 1860, karena keterlibatannya dalam perlawanan rakyat Bangka di Gunung Maras. Ketika berada di Kupang, keduanya aktif mengajarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Berkat usaha Dipati Amir Bahren, ia berhasil mendirikan Masjid Bonipoi Kupang. Beliau wafat di Kupang tahun 1885, sedangkan Panglimah Hamzah Bahren wafat tahun 1.900 juga di Kupang. Makamnya kini ada di Perkuburan Umum Islam Batukadera, Kelurahan Airmata, Kecamatan Kelapa Lima , Kota Kupang, NTT. Salah seorang tokoh yang berjasa terhadap pembinaan umat Islam di Bonipoi Kupang adalah Imam Hasan yang berasal dari Pulau Bangka.


  • KH Muhammad Arsyad bin Alwan, KH Abdul Salam dan KH Mansyur
Mereka berasal dari Banten. Ketiganya dibuang pemerintah Belanda ke Kupang tahun  1892, karena terlibat dalam pemberontakan Cilegon di Jawa Barat tahun 1886. Oleh Belanda, mereka dilarang mendakwahkan Islam. Karena itu, mereka hanya aktif mengadakan kegiatan pengajian.
KH. Muhammad Arsyad bin Alwan lebih dikenal dengan sebutan Penghulu Banten. Pada tahun 1917, mereka dibebaskan dari hukuman, dan diperbolehkan kembali ke Jawa dengan ketentuan tidak diperkenankan lagi ke Banten. Setelah kembali ke Jawa, KH. Muhammad Arsyad bin Alwan dan KH Mansyur meneruskan perjalanan ke Makkah, sedangkan KH. Abdul Salam menetap di Demak dan meninggal tahun 1920.
Semoga Allah membalas kebaikan dan perjuangan mereka dalam menyebarkan agama Islam di kota Kupang.